Opini

Kemunduran HAM

Kemunduran HAM

 

 

Assalamualaikum Wr. Wb.

Salam Pergerakan,

Saya pernah membaca catatan Pramoedya Ananta Toer sebagai tahanan. Salah satunya adalah masa 1947-1949 ketika ditahan di Bukit Duri. Di dalam tahanan bekas kamp Belanda itu tersedia berbagai buku ilmiah dan populer, termasuk majalah-majalah berbahasa Indonesia dan asing. Tahanan juga diperbolehkan mendapatkan buku, majalah dan koran dari luar atau kiriman.

Pramoedya menjelaskan bahwa masa penahanan inilah saat intensif belajar tentang banyak hal, termasuk belajar bahasa dan menulis. Boleh jadi itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa dia menjadi penulis yang berkelas.

Saya juga pernah membaca masa-masa pembuangan Soekarno di Bengkulu, Ende dan Bangka. Juga Hatta di Banda misalnya. Itu terjadi pada masa penjajahan Belanda. Termasuk ketika Soekarno ditahan di Sukamiskin dan menulis Pledoi hebat “Indonesia Menggugat”.

Sekarang saya mengalami masa-masa di dalam tahanan. Bukan oleh penjajah, bukan pula di kamp bekas kepunyaan Belanda. Kemarin, 21 Oktober 2014 terbit Pengumuman dari Kepala Rutan Cabang KPK. Inti dari maklumat itu adalah: 1. Larangan bagi tahanan untuk membawa barang, kecuali perlengkapan mandi, perlengkapan cuci, perlengkapan ibadah, pakaian pribadi maksimal 6 pasang dan buku bacaan maksimal 5 biji, dan 2. Berkas perkara dan berkas-berkas lain yang berkaitan dengan perkara diperintahkan untuk dikeluarkan dan dititipkan kepada Penasihat Hukum. Berkas-berkas tersebut bisa dibaca saat kunjungan Penasihat Hukum pada jam kerja dan setelah selesai dibawa kembali oleh Penasihat Hukum.

Silahkan dibandingkan perlakukan kepada tahanan pada jaman penjajahan Belanda, awal Revolusi Kemerdekaan dengan sekarang khususnya di Rutan KPK. Membatasi buku bacaan hanya 5 biji adalah bentuk penyiksaan terhadap kebutuhan informasi dan pikiran, serta melukai akal sehat dan intelektualitas. Melarang hadirnya buku-buku dalam jumlah yang cukup adalah tindakan yang di luar nalar kewarasan.

Demikian pula dengan larangan terhadap berkas perkara dan berkas-berkas lain yang terkait untuk berada bersama para tahanan. Padahal sangat dibutuhkan untuk persiapan yang baik dalam proses penyidikan, penuntutan, persidangan dan bahan untuk menulis memori banding atau kasasi. Semuanya dalam rangka melakukan pembelaan hukum dan mencari keadilan. Bagaimana ada keadilan jika perkakas minimal bagi tahanan (tersangka atau terdakwa) dijauhkan dan dipersulit?

Belum lagi dengan larangan memasukkan koran dan menikmati siaran televisi atau radio yang sebetulnya diperbolehkan oleh Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Juga ada larangan berolahraga dan dikunjungi keluarga dalam waktu yang lama, padahal kunjungan keluarga yang disebut normal hanya 2 kali sepekan dan hanya 2 jam saja.

Saya tidak sedih atas kondisi ini, tetapi sulit memahami karena lebih mundur ketimbang zaman kolonialisme dan awal kemerdekaan. Juga karena atas nama penegakan hukum malah alat-alat untuk memperjuangkan keadilan bagi tahanan justru dirampas oleh ketentuan yang tidak masuk akal.

Terus semangat adalah keharusan, ikhtiar adalah kewajiban.

Salam Keadilan,

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Anas Urbaningrum

Catatan: Surat ini diposting oleh ADMIN berdasarkan tulisan tangan Anas Urbaningrum yang dititipkan melalui Penasihat Hukum siang tadi.

Anas Urbaningrum

Dr. H. Anas Urbaningrum, S.I.P., M.Si. (lahir 15 Juli 1969) adalah Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang dideklarasikan pada 15 September 2013. Sebelumnya, ia adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat dari 23 Mei 2010 hingga menyatakan berhenti pada 23 Februari 2013.[1]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button