Hukum “Zaman Batu” | Surat dari Anas

Hukum “Zaman Batu” | Surat dari Anas
Assalamualaikum Wr.Wb.
Salam Keadilan,
Alhamdulillah, lewat Penasehat Hukum saya mendapatkan kopi naskah Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Pada bagian akhir tersebutlah bahwa peraturan diterapkan di Jakarta, 28 Februari 2013 dan tertanda Amir Syamsuddin. Sungguh saya bersyukur mendapatkan naskah ini, naskah yang penting untuk dipelajari agar lebih tahu tentang penyelenggaraan tertib kehidupan di Lapas dan Rutan Negara. Saya juga ingin mengkonfirmasi lewat Peraturan Tata Tertib atas sanksi yang saya terima beberapa waktu silam, apakah sesuai dengan aturan main yang berlaku.
Saya dan Akil Mochtar terkena apa yang disebut sebagai sanksi disiplin berupa larangan menerima kunjungan dari keluarga selama 1 bulan karena dianggap telah melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib sesuai dengan pasal 4 ayat 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 6 Tahun 2013. Setelah saya baca, pasal 4 ayat 5 berbunyi: Setiap narapidana atau tahanan dilarang melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas.
Alhamdulillah, saya baru tahu dan paham, tetapi tidak mengerti, kalau menyampaikan surat berisi keberatan tentang pengelolaan Rutan yang ekstra-special dan berbeda dengan rutan-rutan pada umumnya dinilai sebagai melawan atau menghalangi petugas. Sayang tidak dijelaskan mengapa menyampaikan surat keberatan yang spiritnya adalah saran, masukan dan aspirasi disebut sebagai melawan atau menghalangi petugas. Buat saya pun tidak masalah kalau surat itu digolongkan sebagai perbuatan tercela dan melawan petugas, karena substansinya memang melawan tindakan yang sewenang-wenang dan berlebihan. Apalagi sanksi tersebut telah juga memperjelas jenis kelamin dari cara berpikir para pengelola tahanan di KPK. Jelas bahwa kritik dengan cekatan dicap sebagai perlawanan yang harus dipadamkan.
Di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM diatur pula tentang tata cara penjatuhan hukuman disiplin. Pada pasal 12 ditegaskan bahwa narapidana atau tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib wajib dilakukan pemeriksaan awal oleh Kepala Pengamanan sebelum dijatuhi hukuman disiplin. Hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Kalapas atau Karutan sebagai dasar pemeriksaan selanjutnya.
Nah, kami yang berkirim surat tersebut tidak pernah diperiksa awal oleh Kepala Pengamanan atau siapa saja yang ditugasi oleh Kepala Rutan. Sanksi itu tiba-tiba saja datang, sekonyong-konyong tanpa tahu apa musababnya. Juga tak pernah dijelaskan mengapa sanksi itu terbit. Hanya ada surat datang melalui petugas penjaga tahanan.
Pasal 13 selanjutnya mengatur bahwa Kalapas atau Karutan membentuk tim pemeriksa untuk memeriksa hasil pemeriksaan awal. Tim pemeriksa juga bertugas memeriksa narapidana atau tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib. Hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam BAP serta harus ditandatangani oleh narapidana atau tahanan dan tim pemeriksa. Sebelum ditandatangani, terpidana diberikan kesempatan untuk membaca hasil pemeriksaan. Saya menilai aturan ini adil dan fair.
Apakah kami menandatangani BAP bersama tim pemeriksa? Kalau tidak pernah diperiksa, bagaimana tandatangan BAP. Bahkan tim pemeriksa pun tidak pernah dibentuk. Untuk apa tim pemeriksa dibentuk? Wong pemeriksaan awal saja tidak pernah ada. Sungguh sangat sempurna.
Jadi sanksi itu dijatuhkan tanpa lewat proses yang sudah diatur oleh Peraturan Menteri Hukum dan HAM, padahal yang dijadikan dasar adalah Peraturan tersebut. Kesalahan yang tidak jelas, tidak diproses melalui prosedur yang sudah terang, tetapi sanksi bisa dijatuhkan. Di dalam sistem yang anti kritik, sanksi bisa dijatuhkan tanpa harus jelas kesalahannya dan tanpa melewati aturan main yang sudah baku. Hukum tertinggi adalah selera dan kemauan untuk menjatuhkan hukuman.
Apakah saya sedih menerima sanksi? Saya sedih karena ternyata terjadi pelecehan aturan justru pada sebuah bagian di lembaga yang dipuja-puja sebagai dewa penegak hukum. Secara sengaja dan telanjang Peraturan Menteri Hukum dan HAM digunakan untuk menjatuhkan sanksi sekaligus diabaikan dan dilecehkan pada bagian lainnya yang tidak sesuai dengan selera. Lalu apa dasarnya kami diberi sanksi? Jawabannya jelas karena surat keberatan itu. Mengapa surat keberatan dianggap sebagai melawan petugas dan mengapa tidak diproses melalui pemeriksaan sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Hukum dan HAM? Jawabannya karena kami lemah dan yang berhak memberi sanksi kuat-berkuasa, serta merasa benar melakukan apa saja terhadap orang-orang yang di bawah kendali kekuasaannya. Inilah bagian dari sistem yang bergaya mewakili kebenaran absolut. Di luar mereka dianggap tidak ada kebenaran.
Jadi jangan heran kalau dalam konteks yang lebih penting ada saksi yang ditekan untuk memberikan keterangan sesuai yang dibutuhkan. Ada pula saksi yang dilayani dengan diperiksa di luar kota, di Medan misalnya. Ada saksi yang diperiksa jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Ada saksi palsu dan fitnah yang justru dijadikan justice collaborator. Ada cerita imajiner yang dipaksakan menjadi dakwaan dan tuntutan. Ada saksi yang tidak dihadirkan karena dinilai tidak menguntungkan jaksa. Ada saksi yang dihadirkan dengan pengawalan khusus, dan sebagainya. Tidak salah kalau salah satu hakim yang dissenting opinion menyebut istilah menghalalkan segala cara.
Dulu pada “zaman batu” ada orang dihukum tanpa diadili. Sekarang di zaman keadilan, ada proses pengadilan yang meremehkan keadilan. Ada pula sanksi yang dijatuhkan tanpa melalui proses yang seharusnya ditempuh dan apalagi tidak jelas pula kesalahannya. Ini sesungguhnya soal yang sepele. Tetapi karena menyangkut bagaimana keadilan ditegakkan, hal ini menjadi tidak boleh disepelekan. Hanya Tuhan yang berhak menyepelekan. Padahal Tuhan jelas tidak mungkin menyepelekan keadilan. Tuhan Maha Adil. Untuk sebuah keadilan tidak bisa dengan Aku Rapopo.
Salam Pergerakan,
Wassalamualaikum Wr.Wb.
201114
Anas Urbaningrum
Catatan: Surat ini disalin dari tulisan Mas Anas Urbaningrum yang ditipkan melalui Lawyer.