Opini

Dalang Sandiwara

Dalang Sandiwara

Dari balik dinding tahanan, sayup-sayup saya mendengar keramaian soal RUU Pilkada. Tadi pagi dapat info lebih lengkap dari kawan-kawan saat kunjungan.

Cita-cita untuk cetak sejarah akhir jabatan yang baik, khusnul khatimah ternyata tidak mudah. Pada Pilpres 2014, partai yang dipimpin Pak SBY tidak termasuk rombongan pemenang. Citra netral dibangun, tapi gagal. Demokrat main di Koalisi Merah Putih, tetapi hanya main tiga-perempat hati. Karena Pak SBY jaga citra di tengah. Padahal pasangan dari Prabowo adalah besannya. Citra di tengah pastilah tidak membahagiakan Pak Hatta Rajasa. Sudah ambil citra di tengah, kalah dan ternyata tidak dianggap pula oleh Jokowi-JK dan Megawati.

Hubungan antara Pak SBY dan Bu Megawati yang membeku membuat SBY kesulitan untuk menembus Jokowi-JK. Salah satu cara untuk bisa menembus Jokowi-JK, Megawati dan PDI Perjuangan adalah dengan isu pilkada langsung. Tentu juga dalam rangka menjaga citra Pak SBY sebagai aktor politik pro-reformasi. Maka hadirlah wawancara Pak SBY yang diunggah ke YouTube tentang dukungannya kepada pilkada lansung. Padahal sebelumnya Fraksi Partai Demokrat (F-PD) di DPR gencar menyuarakan pilkada lewat DPRD, sama dengan suara fraksi-fraksi dalam Koalisi Merah Putih.

Begitu Pak SBY menyatakan dukung pilkada langsung, pasukan Demokrat di DPR juga berubah kiblatnya. DPP Demokrat lalu mengeluarkan justifikasi politik dan intelektual dengan “10 poin perbaikan dalam pilkada langsung”. Inilah yang kemudian ditawarkan kepada rombongan pendukung pilkada langsung, PDI Perjuangan dan kawan-kawan.

Ringkas cerita, masuklah ke Rapat Paripurna DPR untuk memutuskan pilkada langsung atau lewat DPRD. Seluruh anggota FPD diwajibkan hadir. Yang tidak hadir diancam dikenakan sanksi. Maksudnya untuk antisipasi voting. Ternyata FPD tidak ikut voting. malah undur diri dari persidangan alias WO (Walk Out). Tidak jadi ikut bertanding. Hanya 6 orang yang bertahan di Rapat Paripurna dan mendukung pilkada langsung. Tentu dengan alasan sendiri-sendiri.

Jelas saja akhirnya koalisi pro-pilkada lewat DPR menang telak. Rombongan KMP unggul. Sikap WO FPD ini lantas bikin geger politik nasional. Dinilai sebagai skandal, karena tiba-tiba lari dari arena pertandingan. FPD dinilai “tinggal glanggang colong playu” dan memainkan sandiwara yang sudah direncanakan.

Esoknya SBY menyatakan kecewa terhadap proses dan hasil Rapat Paripurna, termasuk atas sikap FPD yang WO. Pertanyaannya, apakah mungkin sikap FPD diambil tanpa petunjuk Ketua Umumnya? Apakah mungkin Ketua Fraksi ambil keputusan sangat penting tanpa konsultasi dengan Ketua Umumnya? Apakah mungkin Ketua Fraksi berani ambil keputusan di tengah pantauan dari dekat Syarief Hasan dan Ibas yang hadir di DPR? Apakah mungkin Benny K. Harman berani menyampaikan sikap untuk WO tanpa arahan yang jelas dari pimpinannya?

Sejauh pengalaman saya, itu tidak mungkin. Hal kecil-kecil saja harus sepersetujuan SBY. Apalagi urusan sepenting itu. Sangat mungkin kalau tidak ada serangan yang bertubi-tubi, SBY akan tenang-tenang saja di luar negeri. Pernyataan kecewa dan akan mencari dalang WO lebih merupakan ekspresi defensif untuk “cuci tangan”.

Kalau memahami struktur pengambilan keputusan di internal PD, siapa dalangnya sudah amat jelas. Tak perlu dicari. Mencari dalang WO adalah cara menjaga citra. Kalau dapat “kambing hitam”, citra diharapkan relatif terjaga. Soalnya gelombang protes, kekecewaan dan opini sedemikian derasnya, tak terbayangkan. Bak tsunami.

Agaknya modus mencari “kambing hitam” tidak akan manjur. Orientasi citra telah melekat dalam penilaian publik. Bahkan janji SBY untuk terus memperjuangkan pilkada langsung juga diragukan efektifitasnya. Kalah oleh realitas WO. Apalagi kalau “kambing hitam” tidak berhasil dihadirkan dan diberi sanksi berat. Sandiwara makin terkonfirmasi.

Soalnya, siapa yang harus dipilih jadi “kambing hitam”? Apakah Syarief Hasan atau Nurhayati? Ibas atau Benny K. Harman? Tentu tidak mudah untuk memilihnya. Masing-masing punya konsekuensi. Termasuk apakah sang “kambing hitam itu” itu cukup logis.

Yang jelas sikap WO Fraksi Demokrat tidak akan terjadi kalau SBY sejak awal punya sikap yang jelas. Tidak abu-abu. Wong konsep pemerintah sejak awal adalah pilkada lewat DPRD untuk Gubernur. Bupati-Walikota yang pilkada langsung. Sikap FPD juga jelas-jelas mendukung pilkada lewat DPRD.

Apakah sikap FPD tanpa kode dari SBY? Mustahil kalau tidak. Perubahan sikap SBY mendukung pilkada langsung yang diunggah lewat YouTube muncul karena tekanan opini. Kalau tidak ada tekanan opini, saya yakin FPD akan tetap dibiarkan mendukung pilkada lewat DPRD. Jadi semua ini adalah hasil sikap Pak SBY yang tidak jelas. Berubah-ubah karena tekanan opini. Tidak “jejeg” dan tidak “maton”.

Kalau akhirnya SBY dapat hadiah trending topic #ShameOnYouSBY, itu adalah buah dari ketidakjelasan sikapnya sendiri. Inilah masa yang paling meresahkan dan memalukan secara politik dan citra. Ujung yang kurang membahagiakan.***

Nb: Tulisan ini disusun dari kultwit @anasurbaningrum yang dikultwitkan oleh tim admin, Senin, 29 September 2014, pukul 18:19 WIB.

Anas Urbaningrum

Dr. H. Anas Urbaningrum, S.I.P., M.Si. (lahir 15 Juli 1969) adalah Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang dideklarasikan pada 15 September 2013. Sebelumnya, ia adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat dari 23 Mei 2010 hingga menyatakan berhenti pada 23 Februari 2013.[1]

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button